Detail Cantuman Kembali
IMPLIKASI PERUBAHAN PASAL 18 UNDANGUNDANGrnDASAR 1945 TERHADAP KEDUDUKANrnDAN KEWENANGAN GUBERNUR
ABSTRAK Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 mengatur mengenai pelaksanaan otonomi, yang memiliki prinsip demokrasi, otonomi luas, keadilan, pembagian kekuasaan, pengaturan kewenangan. Dengan demikian, salah satu dari asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan adanya kewenangan, terletak pada Gubernur untuk mengatur dan mengurus daerahnya. Identifikasi masalah yang penulis kemukakan dalam disertasi ini adalah bagaimana sistem otonomi daerah pasca Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan bagaimana implikasi perubahan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan gubernur. Jika dilihat dari jenisnya penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang didasarkan kepada bahan pustaka. Sedangkan dilihat dari sifatnya maka penelitian ini bersifat deskriftif, yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada penelitian ini. Data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara normatif, logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki implikasi negatif terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Salah satunya adalah “tidak dihormatinya” kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kecenderungan “tidak dihormatinya” kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan titik berat pelaksanaan otonomi daerah ada di kabupaten dan kota. Kedua, karena Undang-Undang tersebut juga menegaskan tidak adanya hubungan hierarki antara pemerintah propinsi dengan kabupaten dan kota. Oleh karnanya tafsiran Undang-Undang ini pun dilakukan secara tekstual sehingga para penguasa di kabupaten dan kota menafikan kedudukan gubernur. Akibatnya, jalannya pemerintah daerah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak pihak. Kedudukan Gubernur setelah perubahan Pasal 18 UUD 1945 pada prinsipnya hanyalah pada posisi sebagai kepala wilayah, yang hanya bersifat koordinasi sebagai pelaksana tugas dekonsentrasi. Hal ini terjadi akibat kesalahan penafsiran isi pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana pemerintah kabupaten dan kota menganggap tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan daerah propinsi. Karena Bupati dan Walikota merasa memiliki posisi yang setara. Konsekuensinya berimplikasi pada lemahnya posisi tawar (bergaining position) Gubernur terhadap Bupati/Walikota, karena posisi keduanya sama-sama setara. Satu-satunya otoritas pengendali yang dimiliki oleh Gubernur terhadap Bupati/Walikota adalah fungsi pengawasan yang melekat pada posisi Gubernur sebagai kepala wilayah, yang melaksanakan tugas sebagai perpanjangan tangan Pemerintah pusat. Fungsi dan kedudukan Gubernur sebagai kepala daerah serta wakil pemerintah pusat harus diperkuat, dimana Gubernur harus diberi keleluasaan mengambil peran dalam mengurangi kesenjangan keuangan kabupaten/kota dalam satu wilayah Propinsi. Kata Kunci : Implikasi, Kedudukan dan Kewenangan Gubernur
Mariyanto - Personal Name
Promotor Prof. Dr. Hj. Ellydar. Chaidir, SH., M.Hum. - Personal Name
Anggota Promotor: Dr. H. Asyhar Hidayat., SH., MH. - Personal Name
Promotor Prof. Dr. Hj. Ellydar. Chaidir, SH., M.Hum. - Personal Name
Anggota Promotor: Dr. H. Asyhar Hidayat., SH., MH. - Personal Name
Disertasi
352.14 MAR i
352.14
Buku Teks
Indonesia
Universitas Islam Bandung
2015
Bandung
xii, 319 hlm, 21x29.5 cm
LOADING LIST...
LOADING LIST...